Sabtu, 16 November 2024

Tentang pulang yang adalah kita

 Kala itu hujan gerimis meneteskan kegenitan, Sebagian terperangkap didinding jendela, Kau datang dengan segala rasa, Katanya ada rasa yang harus dijelaskan. Sedangkan aku hanya ingin menatap tajam sang langit.


Bagaimana tidak, kau yang bersama sang pangeran dengan mahkota indahnya, Berlari mengejar bahuku, katanya perasaan tidak bisa dibohongi, entah apa yang kau pancarkan dalam setiap pertemuan. Tatapan dan perkartaan yang kau sajikan tak lagi membuatku untuk kembali bersahabat dengan hilang.


kau membuatku untuk kembali menatap pulang, tentang pulang yang adalan kita yang sempat sunyi hanya karena rasa yang sempat tak bertepi, kini tanganmu erat dalam genggaman yang kita buat lewat pertemuan sederhana, menjelma menjadi peluk yang kita buat lewat pelik

Jejak waktu yang hilang

 Ada jejak waktu yang tak lagi kutemukan, hilang di antara detik yang kau tinggalkan. Setiap detak jam mengingatkanku pada kehilangan, seperti bayang yang memudar di antara senja.


Langkah-langkahmu dulu menggema di ruang ini, tapi kini hening menggantikan suaramu. Aku masih berdiri, menunggu di batas waktu, namun yang kutemui hanya kosong tanpa jawab.


Kehilanganmu adalah irama yang tak terjawab, namun aku terus mendengarnya, di balik setiap malam yang sunyi.


Meski jejakmu tak lagi nyata, kenanganmu tetap bertahan, mengisi waktu yang telah hilang.

Aku Tak Peduli

 Aku tak ingin mati terjerat dalam cemas yang membelenggu, Biarkan rindu menancap dalam, meski perih menusuk kalbu. Menjauh bukan berarti mematikan rasa yang ada, Aku hanya ingin melangkah, menikmati sunyi, merenung dalam rela.


Dalam lamunanku yang dulu begitu kelam, Kini pandangan menjadi terang, jiwa pun tenang. Tubuh tak lagi mampu bergerak, apalagi berjuang, Namun mata ini mulai terbuka, setelah lama terkurung dalam mimpi yang beku oleh cemas yang membara.


Akankah kau datang menjelma pelukan hangat, Atau hadir sebagai relawan dengan doa, menyembuhkan luka? Atau mungkin kau hanya datang menenangkan, di tengah badai kecemasan?


Aku tak peduli, karena senyumanmu tetap jadi obat, Candu yang meredakan perih perpisahan, tanpa banyak kata.


Bagiku, sayang tetaplah sayang, Pergi hanyalah cara untuk menghadapi kelelahan. Mungkin kau memilih sang pangeran dengan kereta putihnya, Yang kini tak lebih dari tumpukan sampah di ujung cakrawala.


Sementara aku, kunci motor yang kau temukan di lemari, Lalu hilang bersama kenangan, yang kini kau cari di tengah isak tangismu.

Hujan Dibulan November

November tiba dengan langkah pelan, Hujan jatuh bagai bisikan yang tertahan. Setiap tetesnya mengetuk jendela hati, Menggugah ingatan yang diam-diam kusimpan sendiri.


Rintik hujan menyapa tanah yang kering, Seperti jiwa yang merindu pulang dalam hening. Langit kelabu menyelimuti semesta, Seakan tahu, ada luka yang tak lagi bisa bicara.


Di bawah derasnya aku temukan sunyi, Ada kisah yang terucap tanpa suara, hanya dihampiri sepi.


November menabur perih yang samar, Menyiratkan tentang ikhlas, di balik rindu yang tak pernah pudar.


Dan di sini, di tengah hujan yang turun perlahan, Aku belajar melepas yang tak bisa aku genggam. Rintik November mengajakku memahami, Bahwa cinta yang sesungguhnya, bisa hidup dalam kepergian yang sunyi.

Tentang pulang yang adalah kita

 Kala itu hujan gerimis meneteskan kegenitan, Sebagian terperangkap didinding jendela, Kau datang dengan segala rasa, Katanya ada rasa yang ...